Monday 9 October 2017

Hometown - Arif Furqan


  • 2010 - Perkenalan saya dengan kamera sebagai alat perekam kondisi zaman
  • 2010 - Malang menerima dampak pembangunan besar-besaran akibat investor yang menilai kota ini sebagai lahan komersil yang subur. Lebih lagi, ketika kota sebelah (Surabaya) sudah mulai padat, ditambah dengan bencana Lapindo yang seolah menambah nilai lahan subur Malang untuk digali potensinya.
  • 2011 - Saya mulai mendokumentasikan pembangunan di Kota Malang, terutama pembangunan mall, pusat perbelanjaan dan gedung-gedung tinggi lainnya.
  • 2011 - Saya menyadari bahwa tingginya gedung-gedung tersebut memberikan dampak yang signifikan bagi warga sekitar. Dampak positif temporer: warga kampung sekitar pembangunan mendapatkan lahan kerja baru, baik sebagai warung penyedia makanan bagi para pekerja bangunan, lahan kerja sebagai penyedia jasa penginapan, dan lain-lain. Dampak negatif yang tidak mereka sadari: sebuah tembok besar menghalangi aktifitas mereka, bangunan tinggi menghalagi akses sinar matahari, polusi dan macetnya saluran limbah, bertambah padat alur kendaraan melintasi jalan-jalan kampung, dan lain sebanyak-banyaknya.
  • 2012 - Saya memulai menelusuri arsip foto Malang di masa lampau dan membuat project tentang Malang Kini dan Sekarang.
  • 2012 - Saya mulai sering meninggalkan Malang untuk mencari kehidupan di kota-kota sebelah
  • 2013 - Saya benar-benar meninggalkan Malang untuk menimba ilmu di kota lain.
  • 2014 - Project mendokumentasikan pembangunan Kota Malang ini berjalan semakin pelan, sementara pembangunan mulai marak dan tak terbendung.
  • 2014 - Saya mulai kehilangan beberapa shot tentang pembangunan di Kota Malang.
  • 2015 - Project ini vacuum untuk sementara
  • 2015 - Saya merasa bahwa project ini tak akan ada hentinya, mengingat pembangunan di Malang telah mendarah daging. Gedung tinggi dan bangunan lain lahir secara pesat seperti sudah menjadi bagian organik dari kota ini.
  • 2016 - sekarang.......................



Arif Furqan, 2015

Sisi Lain Alun-alun Batu - Andi Brata



Alun-alun adalah salah satu paru paru kota yang wajib dimiliki setiap kota karena keberadaannya menjadi penting. Dengan adanya taman kota/alun-alun, ini dapat membantu atau menangkal udara kotor pun juga bisa menghasilkan udara yang bersih dan segar. Pemerintah setempat pada akhirnya juga berlomba lomba menyulap alun-alun semenarik mungkin agar pendatang dari luar kota betah berlama-lama dilokasi tersebut, tapi bagaimana jadinya ketika hal itu bertolak belakang daripada semestinya, melalui worskhop www.akudankotaku.com yang dibantu oleh para mentor mengarahkan dalam pemilihan tema, pra dan pasca eksekusi sehingga didapat "cerita" baru tentang alun alun sesuai apa yang ingin saya sampaikan.

Selamat Berimajinasi!

Andi Brata, 2015

Donny Hary On the Street




Donny Hary, seorang penggiat Street Fotografi mencoba merangkum kegelisahannya ketika mengunjungi berbagai tempat. Berasal kalangan menengah di sebuah kota kecil bernama Malang, foto-foto ini diambil dengan pendekatan Street Photography yang menunjukkan posisi seorang Donny Hary sebagai warga urban.

Sunday 11 June 2017

Puasa dan Kolaborasi


Relasi dan kolaborasi antar komunitas adalah suatu hal yang penting untuk keberhasilan acara-acara yang akan digelar kedepannya. Untuk merawat hal tersebut, dan sebagai ajang silaturrahmi, Walkingalam bersama dengan Komunitas Dari Masa Lalu, mengadakan Buka Bersama pada Sabtu, 10 Juni 2017 di Rumah Masa Lalu Jl. Dr. Sutomo 12, Kota Malang.


Acara buka bersama yang bertepatan dengan 15 Ramadhan 1438 H, diawali dengan Nonton Bareng Film Dokumenter dan Workshop Cuci Film Hitam Putih. 10 orang peserta workshop yang berasal dari pencinta fotografi analog di Kota Malang, sangat antusias melakukan langkah demi langkah perlakuan pencucian film hitam putih dari awal sampai akhir. Ragam jenis film hitam putih milik para peserta akhirnya sukses menjadi klise-klise yang siap discan dikemudian hari. 

“Ini merupakan pengalaman pertama saya motret dengan film hitam putih dan mencucinya sendiri, senang karena berhasil, jadi ketagihan meski awalnya agak stress ketika sempat gagal loading film ke devtank” -- Harni, salah satu peserta workshop

Thursday 1 June 2017

Memories of a Home - Arif Furqan


I am not quite sure where my home is, I am not even sure about where the heart is. For me, home is always in present. As a metaphor of survival (Bhaba, 1997), home is not just in present, it is a continuity; the past, present, and endless.
This project is an effort of visual preservation about a house. I attempt to recall its every details as an effort of surviving existence, surviving the locus where those memories are kept and survived, surviving its past, present, and endless changes.
This project itself is also a metaphor of survival.

When I came back to this particular house, it is impossible not to notice the changes. The house and its current residents have made its own method of survival; the TV got bigger, the furniture got more numbers, it got more crowds, more members, there are more things blocked the stairs, the upstairs looked more abandoned, and dust grows on every corner. Yet, there are also several things that remain the same, mostly on the upper areas.
The wall on the upstairs has different paint since it is quite impossible to reach the higher wall. It used to be same color, but since there are some difficult areas to reach and to put renewal paint on it, also considering the leak that (may) damage wall, we silently decide not to renew the paint on the upper areas. The paint that never touched the upstairs make me realize that the house made its own effort to survive. Those unchanged parts keep some historical and memorial artifact of past condition of the house. Well, those parts sometimes help me noticing the changes happened in my absences.
In a distance, it often comes to my mind that even the heart still wanders, memories are buried and found somewhere in the house.

Arif Furqan, 2016.

Monday 24 April 2017

Menyapa Saksi Hidup Kejayaan Kayutangan



Sejarah kota Malang tidak bisa dipisahkan dari kehadiran bangsa Belanda. Sampai saat ini masih banyak bangunan kolonial yang dapat dijumpai di beberapa lokasi strategis kota Malang.  Salah satunya kompleks pertokoan di sepanjang Jalan Kayutangan (sekarang Jalan Basuki Rahmad) mulai dari pertigaan depan PLN sampai di depan Gereja Katolik Kayutangan.  Kawasan pertokoan yang dibangun antara tahun 1930-1940 an ini mengenyam masa kejayaan pada era 1960-1970 an. Menjadi pusat keramaian di kota Malang saat itu dengan berbagai ragam usaha yang menjadi motor roda perekonomian.

Saat ini kawasan kayutangan tak ubahnya seperti jalan tol yang menghubungkan kota Malang dengan dunia luar. Fisik bangunan kolonial yang menjadi ciri khasnya hanya tinggal cerita. Papan iklan mendominasi wajah kayutangan, coretan tangan tak bertanggungjawab menambah nuansa kumuh dan menjauhkan dari kesan menarik. Bahkan beberapa bangunan modern mulai menghiasi wajah kayutangan saat ini.

Sebelum semua cerita kejayaan kayutangan menghilang, saya mencoba menyapa beberapa saksi hidup yang hingga saat ini berjuang mempertahankan kejayaan kayutangan dari gempuran perubahan jaman.


Ichwan Susanto, 2017.