Monday 11 June 2018

Research & Narrative Development Workshop

Arkademy—sebuah program dari Arka Project—berkolaborasi dengan Walkingalam mengadakan Research and Narrative Development Workshop. Bersama 15 peserta yang telah lolos seleksi, workshop dimulai pada pukul 10.00 WIB di Rumah Dari Masa Lalu (02/06). Peserta yang hadir berasal dari beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Malang, dll. 

Berbagai cerita dari personal project yang telah dibawa oleh peserta dalam ukuran postcard dipresentasikan dalam diskusi foto bersama para mentor yaitu Rara Sekar, Yoppy Pieter, dan Ben C. Laksana. Latar belakang, pengalaman, serta cerita yang berbeda mampu menghadirkan perspektif baru untuk dikaji bersama. Proses pembelajaran bersama mentor menjadi hal yang menarik bagi semua peserta.

Angel, mahasiswa Universitas Brawijaya yang berasal dari Jakarta ini menuturkan, “Buat aku, acara ini ngebantu banget untuk lebih mengembangkan dunia fotografi dari sudut pandang lain. Aku jadi tau pentingnya riset dalam membuat project dan juga sequencing foto yang diajarkan oleh mentor-mentor yang keren”.

Pada workshop ini, Angel mengusung personal photo stories tentang mimpi atau cita-cita. Mimpi atau cita-cita yang belum sempat tergapai dan mimpi yang terpaksa dilepas karena ia tidak mungkin meraihnya, entah itu kurang realistis atau segala macam. Mimpi yang dulunya diarahkan oleh orang tua. Sekarang, ia ingin bermimpi tanpa adanya intervensi dari orang lain. Harapannya, setelah mengikuti workshop ini, Angel bisa membuat personal project yang lain dan mengembangkannya untuk melangkah di kemudian hari.




Alvian yang berasal dari Yogyakarta membawakan personal project tentang Jember sebagai Kota Tembakau.

Dengan hadirnya acara ini, Rara Sekar selaku mentor dari acara ini mengatakan bahwa workshop ini dapat memberikan semangat bagi para fotografer untuk belajar mengenai pendekatan fotografi yang kritis dan reflektif.

“Kenapa kritis? Karena kami ingin mendekonstruksi reproduksi pengetahuan foto melalui fotografi yang terkadang hanya menyudutkan satu pihak. Misal, contoh foto masyarakat adat: kita hanya melihat ritual secara permukaan. Jadi kita melihat ‘oh mereka berbeda dengan kita’. Seperti orang di Papua, kita menggambarkan mereka secara visual dengan cara yang gitu-gitu terus. Padahal banyak hal yang sama antar manusia, memiliki kesamaan seperti kita antara di kota maupun di daerah/suku manapun yang bisa dieksplorasi lebih dalam melalui fotografi. Jadi kita kritis ke luar. Kalo ke dalam, dilandasi oleh refleksi diri. Kita pengen, fotografer usia berapapun itu sadar tentang asumsi yang selama ini dibangun atau konstruksi sosial yang membentuk pemikiran mereka tentang estetika dan fotografi itu sendiri. Dan, lebih sadar tentang fotografi sebagai karya seni visual. Semoga karya-karyanya itu tidak hanya sekedar untuk estetika saja (khususnya personal documentary) tapi kita bisa melihat kedalaman juga disitu. Tidak cuma ada rasa, tapi juga riset, pengetahuan dan pengalaman baru melalui fotografi itu sendiri.”


Sama halnya dengan Ben C. Laksana yang berharap bahwa para peserta workshop dapat menelusuri kembali pentingnya riset tentang apa yang mereka lihat di dunia ini. “Karena fotografi, orang melihat bahwa kita merekam dunia. Kita merekam dengan asumsi tertentu.”

Acara ini diakhiri dengan diskusi dan presentasi hasil karya peserta workshop yang dibuka untuk umum di Rumah Kopi Ampstirdam pada Hari Minggu (03/06).



teks: Afifah Rachmawati
foto: walkingalam